Pernah dengar hewan dengan nama Cacing martil? Cacing yang bentuk kepalanya seperti martil. Jenis hemaphrodit yang memiliki mulut untuk makan sekaligus sebagai anus tempat membuang kotoran. Cacing itu berukuran seperti ular dan biasanya ditemukan di hutan. Pagi ini gerimis. Patimah menemukan hewan tersebut namun sebesar anak cacing. Hewan itu tiba-tiba merayap di tangan Patimah saat sedang mengiris sawi putih. Merasa kaget dan jijik wanita usia tiga puluhan bertubuh sekal itu langsung mengambil tisu dan mencomot cacing tersebut. Kemudian membakarnya.
Seminggu setelah pagi itu, Patimah tidak pernah terlihat keluar rumah sama sekali. Padahal biasanya pagi-pagi pukul enam dia sudah nongkrong di Warung Bu Mari bercocot ini itu bersama ibu-ibu lainya sambil pilih-pilih sayur. Pukul tujuh dia mulai beres-beres bersiap untuk mengantar anak bungsunya yang masih PAUD. Pukul delapan sampai sepuluh, Patimah menunggui anaknya didepan sekolah bersama ibu-ibu lainnya yang juga sedang menunggu.
Jarak dari rumah ke sekolah lumayan dekat. Letaknya di kampung sebelah. padahal bisa saja Patimah pulang dulu dan kembali ke sekolah saat anaknya pulang. Tapi berada disekolah lebih menyenangkan baginya karena bisa ngobrol ini itu dengan ibu-ibu penunggu anak disana. Toh, menurutnya hanya diam dirumah dirinya malah kesal dan jenuh. Suaminya jarang di rumah. Karena ia seorang supir truk luar kota yang pulang setiap tiga hari sekali, kadang juga seminggu sekali.
***
Entah kemana wanita itu. Rustini bertanya-tanya dalam hatinya mengenai Patimah. Sejak beberapa hari lalu Rustini tak melihatnya keluar dari rumah. Sebenarnya Rustini tidak begitu peduli dengan keadaanya, malah dia sangat berharap agar Patimah menghilang saja dan tidak pernah muncul lagi di hadapan Rus. Rus fikir kampung itu akan lebih damai tanpa Patimah. Rus amatlah sangat membencinya.
Enam bulan yang lalu setelah menikah, Rus pindah ke kampung. Sebuah desa kecil yang berada di antara gunung dan kebanyakan penduduknya adalah petani. Suaminya bekerja sebagai pegawai desa, sehingga mereka berdua cukup disegani oleh warga di kampung itu. Semenjak kepindahanya Rus sangat dekat dengan Patimah. Meski Ia sepuluh tahun lebih tua dari Rus, tak membuat sungkan bagi mereka untuk saling bertukar cerita. Hampir setiap hari Rus berkunjung ke rumah Patimah sembari menunggu suaminya pulang bekerja. Sudah banyak tetangga yang memperingatkan Rus agar tidak terlalu dekat dengan Wanita beranak dua itu. Tapi bagi Rus yang sudah merasa kenal dekat dengan Patimah, mungkin itu hanya bentuk ketidaksukaan orang-orang saja dengan keakraban mereka. Patimah selalu berhasil menjelek-jelekkan warga di kampung itu agar Rus berpikir bahwa hanya Patimah lah yang paling baik kepadanya.
Mereka bersahabat dengan baik, Rus dan Patimah juga saling terbuka dengan rahasia-rahasia diantara mereka. Rus tahu banyak tentang rahasia Patimah. Mulai dari masalah keuanganya, ranjang, keluarga serta hal-hal lainya. Dan rahasia terbesar Patimah adalah laki-laki simpanannya yang usianya masih dua puluh tiga tahun.
Pernah suatu hari Patimah membawa selingkuhanya itu ke rumahnya dan bilang pada suaminya bahwa itu adalah sepupunya. Parahnya lagi, Patimah membiarkan laki-laki itu menginap di rumah dua petak milik mertuanya yang sedang kosong. Mereka berdua sebenarnya memang saling mencintai. Bahkan laki-laki bertubuh tinggi kurus itu pun sudah membawa wanita itu ke rumahnya dan memperkenalkan Patimah kepada orang tuanya. Bukan hanya itu Patimah juga sering mohon izin kepada suaminya untuk menginap dirumah Uwa nya sampai beberapa hari. Padahal dia tidur di rumah selingkuhanya. Patimah sudah membuat janji bahwa ia akan segera minta cerai kepada suaminya dan akan menikah dengan laki-laki itu. Patimah juga berbohong pada keluarga selingkuhannya dengan mengatakan bahwa dia sudah lama menjanda.
Jelas, itu semua diluar pengetahuan suaminya. Rus tidak meceritakanya pada siapapun tentang kebusukan Patimah sampai sekarang. Karena sebenci apapun Rus kepadanya, Rus adalah orang berpendidikan yang selalu menepati janji dan pandai menyimpan rahasia. “Biarlah Tuhan yang mengganjarnya”, begitu bisikan hatinya.
Sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga. Begitupun dengan Patimah. Setelah lama ia menyimpan kelakukan busuknya akhirnya suaminya mulai curiga. Namun dia masih bernasib baik, dengan kelihaian mulutnya memutar balik cerita dia masih dimaafkan dan tidak di ceraikan. Rus tidak pernah tahu apa yang dikatakan Patimah sehingga suaminya dengan mudah percaya. Karena setelah kejadian itu Patimah tak banyak cerita lagi kepada Rus.
Tak mau kehilangan teman dekatnya, sesekali Rus masih mengunjungi rumah Patimah. Namun entah kenapa setiap Rus kesana dan kebetulan suaminya sedang ada dirumah, dia selalu memandang sinis kepada Rus. seolah-olah tidak suka dengan kedatangan Rus. Merasa tidak enak, akhirnya Rus memutuskan untuk mulai menjauh dari keluarga itu.
Sebuah kejadian yang paling membuat Rus sakit hati adalah ketika beberapa minggu setelah terakhir kali dia mendatangi rumah Patimah. Malam hari setelah shalat isya, ketika suami Rus baru pulang kerja. Tiba-tiba dia menyeret Rus ke kamar dan membanting pintu. Nafasnya memburu tak karuan, matanya melotot dan memerah menatap Rus. betapa kaget dan takutnya wanita manis dengan tahi lalat di dagunya itu. Kesambet apa orang ini? Hatinya bergumam.
Di ruang redup itu, di lantai samping meja rias Rus. Tabrani menjambak rambut Rus. “Ngaku kau?” ujarnya.
“Ngaku apa mas? Aku nggak ngerti.” Rus kesakitan memegangi rambutnya.
“Kemarin usai magrib kau membawa laki-laki kerumah ini kan? perempuan tidak tahu di untung. Aku capek-capek cari duit buat ngasih makan kau, tapi kau malah selingkuh sama lelaki lain di rumahku”. Nada bisacaranya semakin meninggi.
Rus menangis terisak kesakitan. Merasa tak tega laki-laki itu melepaskan genggamanya di rambut rus. Amarahnya mulai surut berkali kali dia istigfar dan kemudian terdiam. Sementara Rus merintih kesakitan serta gemetar karena takut.
“Ada apa Mas?”
Suami Rus mengambil ponsel di sakunya kemudian menyerahkanya pada Rus. Dengan nada pelan dia berkata “Bisa kau jelaskan apa maksud dari SMS ini?”
“Hei Tabrani. Kasihan sekali hidupmu banting tulang kerja pulang malam. Tapi istrimu malah asyik berduaan selepas magrib kemarin dirumah mu dengan laki-laki lain yang bukan mahramnya, Asal kamu tahu saja saat siang hari kamu tak ada, istrimu bersolek dan pergi bersama laki-laki itu entah kemana, dan magrib nya laki-laki itu mengantar istrimu pulang dan mampir dirumahmu berduaan dengan pintu rumah ditutup. Pantas saja keluarga kalian belum dikasih anak, itu karena istri mu berkelakuan seperti itu.”
“Astagfirullohaladzim Mas.” Wanita itu menangis. “Kenapa kamu mudah percaya dengan hal sepeti ini tanpa kamu lihat kenyataanya. Saya selalu diam dirumah saat kamu nggak ada. Kalo kamu nggak percaya tanyain aja sama tetangga atau sama ibumu. Jelas rumah kita berhadapan denganya. Dengan seperti ini kamu malah akan membuat orang yang mengirim sms itu bahagia menertawakan kita yang termakan omonganya, eling mas”.
Belum pernah sebelumnya suami Rus bersikap seperti itu dan semarah itu kepadanya. sejatinya suami Rus adalah orang yang sabar dan lembut, tak pernah Rus bayangkan kemarahanya akan semenakutkan itu. Dengan tatapan penuh sesal suami Rus menarik nafas kemudian meminta maaf atas kejadian itu. Ia berfikir bagaimana bisa emosinya terpancing mengingat warga di Kampung itu kebanyak orang yang suka menebar kebencian. Seharusnya dia tahu, karena sejak dulu, dia lahir dan besar di Kampung itu. Tabrani tidak pernah lagi percaya pada omongan siapapun yang berusaha mengganggu keharmonisan keluarga mereka. Untung lah suami Rus tak kalap.
Awalnya Rus tak memperdulikan tentang siapa yang ada dibalik pesan tersebut. Sampai pada suatu hari tetangganya bercerita pada Rus saat sedang mampir diteras rumahnya. Wanita itu mendapat sms yang menceritakan bahwa suaminya ada main dengan perempuan lain. Dia meminta pendapat kepada Rus. Kemudian Rus melihat nomornya dan ternyata nomor itu sama dengan nomor telepon yang meneror suaminya beberapa hari yang lalu. Rus mencoba menelefon nomor tersebut namun sudah tidak aktif. Rus berfikir keras bagaimana caranya menemukan orang tersebut. Rus pun iseng mengetikan nomor itu di pencarian facebook. “Astagfirullah, terima kasih Gusti. Si Patimah memang busuk hatinya.” Kata Rus.
Rus tak berniat untuk mendatangi rumah Patimah dan berteriak-teriak memaksanya untuk mengaku. Baginya biarlah sang Gusti yang mengganjarnya. Yang paling penting hati Rus sudah terbuka. Sekarang barulah Rus mengerti, betapa hawatirnya masyarakat yang sudah sedari dulu memperingatkannya. Rus, pendatang baru yang bergaul dengan wanita yang sudah lama menjadi belatung ditempat tersebut.
Cerita tentang pelaku teror sms-pun mulai menyebar luas dikampung itu. Ternyata memang bukan Rus dan temanya saja yang menjadi korban. Beberapa tetangga lainpun sudah pernah mengalaminya. Bukan hanya soal perselingkuhan. Pernah juga tentang seorang remaja yang difitnah telah melakukan mesum di tempat sepi, sampai-sampai anak tersebut disiksa oleh orang tuanya. Atau tentang sebuah warung yang dituduh melakukan pesugihan. Dan fitnah tersebut tersebar melalui sms. Hanya saja sebelum Rus menemukan siapa orang dibalik sms itu, cerita tersebut masih belum meluas. Karena orang-orang yang menjadi korban banyak yang belum menyadarinya.
Tak selesai sampai disana, semakin Rus mulai bermasyarakat semakin banyak pula Rus mendengar cerita tentang kelakuan Patimah. Seperti suatu sore dipertengahan bulan april. Matahari tak lagi terik. Ibu-ibu di Kampung itu termasuk Rus mulai keluar rumah untuk sekedar mencari teman ngobrol setelah seharian melakukan rutinitasnya. Datanglah seorang pedagang gorengang keliling bernama Maya. Wanita itu seumuran dengan Rus. Hanya saja Maya menikah ketika usianya lima belas tahun dan sekarang sudah memiliki satu orang anak. Sambil meluruskan kakinya yang legam, Maya iseng bertanya kepada Rus mengenai sms yang datang kepada suaminya. Rus dan para wanita disana pun terlibat beberapa obrolan yang berujung pada tingkah laku Patimah. Tanpa ditanya, Maya terpancing untuk bercerita kepada Rus bahwa dulu ia juga pernah dekat dengan patimah. Namun pertemanan mereka tidak bertahan lama karena suatu masalah terjadi diantara mereka.
Setahun yang lalu, tengah malam sekitar pukul setengah satu. Patimah menggedor pintu rumah Maya yang setengah dinding rumahnya terbuat dari anyaman bambu. Maya membuka pintu dengan mata yang masih terkantuk. Di tengah sorotan cahaya lampu teras yang remang Patimah menarik Maya ke luar kemuadian berkata “kamu ngaku aja, Nggak apa-apa. kamu bayar setengahnya aja. Aku janji nggak bakal bilang sama siapa-siapa.”
Maya kaget dan heran “Maksudnya apa?”
“Uang aku ilang satu juta. Tadi aku ke dukun, Katanya kamu yang ngambil. Orang yang paling dekat sama aku dan sering main kerumahku. Ya sudah kamu ngaku aja. Aku ngerti kamu itu lagi butuh duit. Bayar setengahnya aja nggak apa-apa May. dari pada besok aku ngomong ke orang-orang kalau kamu maling uang aku May.” Sambil berbisik di telinga Maya.
“Astagfirullah. Mana buktinya hah? Sembarangan kamu nuduh orang tanpa bukti. Nggak sudi aku ganti uang kamu Mbak. Tengah malam kamu ketuk-ketuk pintu rumah saya cuma mau nuduh saya begitu gara-gara omongan dukun ”.
“oh jadi kamu tetap nggak mau ngaku? Awas kamu ya May lihat saja nanti” Patimah pun berlalu.
Dibandingkan dengan Patimah, Maya memang tergolong orang yang serba kekurangan. Suaminya seorang buruh tani. Hanya bekerja jika ada petani yang membutuhkan tenaganya untuk mencangkul atau sekedar bantu-bantu dikebun orang. Ia dibayar tiga puluh lima ribu rupiah dari pukul enam pagi sampai pukul dua belas siang. Cukup untuk beli sekilo beras, dua ikat kangkung, sebungkus ikan asin dan sambel. Untunglah Maya masih mau bantu-bantu keliling kampung berjualan gorengan setiap sore. Sehingga mereka masih punya uang cadangan jika kemarau tiba, ketika aktifitas pertanian di kampung tersebut berhenti selama satu musim itu.
Pagi harinya adalah pagi yang muram. Tidak nampak sang surya bersinar karena terhalang awan gelap yang masih ragu-ragu untuk mengguyur kampung petani itu. Bisik-bisik mulut para wanita mulai terdengar bahwa ada maling disana. Ada yang cuek tak peduli, ada yang tidak percaya, ada juga yang ikut menyebarkan sampai terdengar ke kampung tetangga. Begitulah kecepatan mulut manusia menyebarkan berita. Entah benar atau tidak, kata-kata yang terlanjur diucapkan tidak kan bisa ditarik kembali. Seperti abu yang ditiup angin, tidak mungkin bisa dikumpulkan lagi.
“Hey may, dasar maling kamu ya. Balikin duit saya atau kamu mau saya bawa polisi buat nangkap kamu?” Patimah berteriak dihalaman rumah Maya.
Maya yang mendengarnya langsung keluar rumah. Sambil berkacak pinggang di depan pintu rumahnya dia berkata “Sembarangan kamu, nggak tau malu kamu ya teriak-teriak di rumah orang. Mana buktinya kalo saya maling hah?, silahkan kalo kamu mau bawa polisi saya nggak takut”. Adu mulut pun terjadi diantara mereka.
Jarak dari rumah ke rumah di kampung itu hanya beberapa meter saja. Suara pergulatan mulut antara Maya dan Patimah nyaring terdengar ke setiap sudut rumah disekitarnya. Sehingga para tetangga keluar untuk melihat keributan tersebut. Tidak ada diantara mereka yang mau melerai. Mereka rasa bahwa hal itu bukanlah urusan mereka. Bagi mereka kejadian itu mungkin seperti sinetron, dan akan mereka komentari jika sinetron sudah selesai. Percekcokanpun berhenti saat Maya masuk kerumah untuk mengambil air kemudian menyiramkanya kepada Patimah. Dengan emosi yang bertumpuk di dadanya. Patimah pun pulang dengan kondisi basah kuyup.
Setelah kejadian itu, Patimah dan Maya sudah tak akrab lagi. Niat Patimah untuk melapor ke polisipun diurungkannya. Pikirnya lapor polisi hanya akan buang-buang uang. Jaman sekarang ini melaporkan kejahatan pada polisi mesti keluar biaya. Padahal itu sudah tugas mereka dan mereka sudah digaji oleh negara. Menurutnya mobil hilang saja mesti bayar jika ingin kasusnya di usut. Apa lagi uang satu juta. Lagi pula Patimah memang tidak mempunyai bukti yang kuat. Hanya modal omongan dukun saja belum cukup untuk memasukan Maya kedalam penjara.
Meski tanpa bukti, gosip tetaplah gosip. Nama Maya sebagai pencuri sudah tersebar kemana-mana. Seiring berjalanya waktu gosip-gosip memang akan segera menghilang dengan hadirnya gosip baru. Namun tetap saja, noda hitam diatas nama seseorang tidak akan hilang sepanjang hidupnya.
***
Suatu pagi di bulan januari. Ayam jantan berkokok saling menyaut. Sinaran surya belum sepenuhnya menembus kabut tipis yang masih menyelimuti desa itu. Langkah kaki para petani yang hendak berkebun meninggalkan jejak di tanah yang basah. Sementara para ibu memasak menyiapkan santapan untuk diantar siang harinya. Warung bu mari sudah mulai ramai oleh pembeli. Selalu ada berita baru yang masih segar diperbincangkan disana setiap harinya. Seperti saat itu, obrolan khas ibu-ibu pun dimulai.
“Rustini, kamu sudah tahu belum?” Wanita bertubuh bongsor itu memulai percakapan.
“Sudah tahu apa bu Mar?” Rus mengernyitkan dahi.
“Soal patimah? Masa kamu belum tahu?” Tanganya meraba sayuran, seolah mencari daun segar. Nampak di jemarinya empat cincin emas terpasang dan beberapa gelang emas di pergelangan tanganya.
“Wah, memangnya kenapa? Ada gosip baru kah? Saya sudah lama tidak bertemu denganya”
“Wah kamu ini kurang update deh. Makanya follow ig ku, biar kamu tahu berita terbaru.” Ia menyeringai.
“duh saya nggak punya ig bu. Hehe. Memangnya kenapa dengan Patimah?”
“Itu loh, katanya dia punya penyakit aneh.” Sejenak ia menarik nafas. Sebelum Rus bertanya kembali, ia melanjutkan “Si Patimah, makan dan berak melalui mulutnya. Terus pori-pori di tubuhnya mengeluarkan keringat namun seperti lendir. Jijik banget.”
Seseorang memotong pembicaraan Bu Mari “Wah ternyata memang benar ya Bu mar. Saya kira Cuma hoax. Kasihan ya si Patimah itu. Sudah anaknya sedang hamil tiga bulan dan nggak jelas siapa laki-laki yang menghamilinya. Suaminya pun di pelet oleh wanita lain dan tidak pulang-pulang. Ya ampun”
Siang harinya terdengar kabar bahwa Patimah lari dari rumahnya. Terlihat sepanjang jalan, lendir bekas jejak kakinya yang menempel di tanah. Semakin jauh jejak itu semakin samar dan menghilang ketika disapu air langit . Tak pernah sekalipun patimah terlihat lagi di Kampung yang 'kelihatanya' asri dan damai itu.
Komentar
Posting Komentar